Senin, 19 Desember 2011

SEJARAH SINGKAT PEMBENTUKAN KABUPATEN SINJAI


Berdasarkan UU. No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Daerah Tingkat II di Sulawesi (LN Tahun 1959 Nomor 74 TLN Nomor 1823), dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. UP.712/44 tanggal 28 Januari 1960 Sinjai diresmikan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Sinjai sebagai Daerah Otonom yang ditandai dengan pelantikan Bupati Pertama ABDUL LATIEF (Mayor Purnawirawan TNI/AD) yang dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960.

Kabupaten Sinjai adalah Daerah Otonom yang terdiri dan membawahi enam buah distrik masing masing:

1. Distrik Bulo Bulo Timur
2. Distrik Lamatti
3. Distrik Tondong
4. Distrik Bulo Bulo Barat
5. Distrik Manimpahoi
6. Distrik Manipi

Keenam Distrik tersebut masing masing dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Dari enam buah distrik yang telah ada kemudian berdasarkan SK Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara pada tanggal 19 Desember 1961 No. 1100 tentang Pembentukan Kecamatan di Daerah Swatantra Tk II Sinjai yang dilebur menjadi lima Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Sinjai Utara
2. Kecamatan Sinjai Timur
3. Kecamatan Sinjai Tengah
4. Kecamatan Sinjai Barat
5. Kecamatan Sinjai Selatan

Kemudian ditambah dua buah persiapan Kecamatan yaitu:

1. Perwakilan Kecamatan Sinjai Utara
2. Perwakilan Kecamatan Sinjai Barat

Selanjutnya dengan SK DPRD GR Daerah Tingkat II Sinjai No. 16 Tahun 1961 YO Surat Keputusan BKDH TK. II Sinjai tanggal 27 Maret 1962 Nomor 5/KDS/1962 tentang Rencana Pembangunan Masyarakat Desa di Sinjai membagi 73 wilayah Kampung Komplexin yang telah ada 39 Style Baru.

Dengan keluarnya SK Gubernur Sul Sel No. 450/111/1965 tentang Pedoman Pembentukan Desa Gaya Baru di Sul Sel, dimana berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1979, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1980 tentang Pedoman Pembentukan, Pemecahan dan Penghapusan Kelurahan, serta Peraturan Mendagri No. 4 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa. Begitu pula dengan Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1992 dimana dua buah perwakilan Kecamatan yang dibentuk pada tahun 1975 berubah status menjadi Kecamatan Defenitif.

Dimana berdasarkan Peraturan tersebut diatas maka Kabupaten Daerah Tingkat II Sinjai pada saat ini terdiri 7 buah Kecamatan, 54 Desa dan 14 Kelurahan. Dan berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan Nomor 5381VI/1996 maka di Kabupaten Sinjai terbentuk satu Perwakilan Kecamatan, yaitu Perwakilan Kecamatan Tellu Limpoe.

MOTTO KABUPATEN SINJAI
Berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sinjai Nomor 13/KPTS/ 1995 tanggal 6 Juni 1996 tentang Penetapan Motto Kabupaten Sinjai.

I. UMUM
Bahwa pelaksanaan pembangunan disegala bidang, adalah tanggungjawab dari semua kalangan masyarakat. Untuk itu perlu dibangkitkan dan didorong semangat partisipasi dalam pembangunan agar hasil-hasilnya dapat semakin meningkat dan selanjutnya akan membawa peningkatan disegala bidang kehidupan.

Bahwa dalam upaya mempercepat pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Sinjai perlu ditetapkan Motto Daerah untuk menjadi motivasi pembangunan disegala bidang dalam rangka lebih mempercepat proses menumbuhkan pembangunan yang seimbang dan selaras.
II. MAKNA/PENGERTIAN
Berdasarkan makna, dan pengertian SINJAI BERSATU makna sesuai format ideal adalah :
1. Huruf B = Bersih
a. Bersih hati dan niat untuk bersatu padu memajukan bangsa dan daerah bersih dari niat untuk mementingkan kelompok dan diri sendiri.
b. Bersih pikiran dari hat hal yang negatif yang dapat merugikan orang lain dan sebaliknya selalu berpikir positif Kreatif dan Produktif.
c. Bersih lingkungan dari segala macam sampah, polusi dan limbah.
2. Huruf E = Elok
Apa yang sudah bersih ditingkatkan agar menjadi elok dan sedap dipandang mata.
Masyarakat semakin ramah tamah dan bersahabat, penataan pekarangan dan taman serta lingkungan alam sekitamya semakin cantik, dihiasi dengan tanaman yang hijau dan bunga-bungaan yang indah.
3. Huruf R = Rapi
Apa yang telah bersih dan elok perlu tetap terpelihara secara berkesinambungan, dapat lebih tertata rapi dan apik. Untuk itu diperlukan pula adanya kebersatuan masyarakat berupa organisasi kecil yang rapi pula baik ditingkat Dasa Wisma atau RT dan RW yang bertanggung jawab mengatur dan menjaga kerapian setiap tempat atau lokasi yang telah ditetapkan bersama.
4. Huruf S = Sehat
Karena masyarakat sudah bersatu hati, pikiran dan gerakan untuk hidup bersih, elok dan rapi, maka dengan sendirinya akan terciptalah masyarakat yang sehat. Sehat, sehat dalam arti sebenarnya yaitu sehat jiwa dan mentalnya sehat pisik dan tubuhnya serta sehat pergaulan lingkungan sosialnya. Bila masih ada anggota masyarakat yang belum mampu hidup sehat perlu bantuan biaya pengobatan dan lain lain maka masyarakat bersatu membantu melalui pengumpulan Dana Sehat.
5. Huruf A = Aman
Bila masyarakat telah hidup sehat dalarn arti yang utuh, yaitu sehat mental, pisik dan pergaulan sosialnya maka dengan sendirinya akan terciptalah suasana yang aman. Tidak ada lagi pelanggaran lalu lintas, tidak ada lagi pencurian dan tindak kriminal lainnya, karena masyarakat hidup dalam suasana saling membantu, yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah dan seterusnya.
6. Huruf T = Tekun
Karena masyarakat hidup dalam suasana yang aman maka merekapun dapat belajar dan berusaha dengan tenang dan tekun. Setiap anggota masyarakat pengusaha, pegawai dan lain lain dapat lebih menekuni bidang tugas dan profesi masing masing. Tanpa merasa kuatir oleh akan adanya gangguan bahkan ditunjang oleh adanya suasana yang bersih, elok, rapi dan sehat.
7. Huruf U = Unggul
Karena masyarakat telah tekun melaksanakan tugasnya masing-masing, maka dalam waktu yang tidak terialu lama akan lahirlah keunggulan-keunggulan di berbagai bidang fisik maupun non fisik, dan dengan demikian Kabupaten Sinjai telah siap untuk menghadapi Era Globalisasi

Minggu, 16 Oktober 2011

Hutan Bakau



Hutan Bakau Terletak di desa Tongke-Tongke Kec. Sinjai Timur sekitar 7 km dari pusat kota Sinjai. Hutan bakau (mangrove) di Tongke-Tongke dalam perkembangannya telah menjadi obyek wisata yang ramai dan diminati, baik oleh wisatawan nusantara mauoun mencanegara, terutama sekali oleh para ilmuan yang gemar melakukan penelitian. Desa Tongke-Tongke dengan kekayaan hutan bakaunya dijuluki sebagai laboratorium bakau Sulawesi Selata. Pengembangan hutan bakau yang berlokasi pada pesisir sebelah timur kota Sinjaitersebut memiliki luas kurang lebih 786 ha, yang dikembangkan melalui swadaya masyarakat murni. Berkunjung du hutan bakau Tongke-Tongke berarti juga akan dihibur oleh aneka jenis bebunyian dan pekikan satwa dipagihari dan kepakan sayap ribuan kalelawar, yang bergantungan di atas pepohonan bakau pada siang hari

Sumber sebagian besar dari : http://www.wisatanesia.com/

WISATA BOGA TPI LAPPA


WISATA BOGA TPI LAPPA Terletak di kelurahan Lappa Kec. Sinjai Utara sekitar 4 km dari ibukota Sinjai. Berwisata di kabupaten Sinjai tidaklah lengkap jika anda tidak berkunjung ke TPI Lappa, yang merupakan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kabupaten Sinjai, sekaligus merupakan salah satu sektor primadona penghasil Pendapatan Asli Daerah (PAD) menyaksikan kesibukan para nelayan mendaratkan ikan hasil tangkapannya di tempat ini. Hiruk-pikuk dari cekikan dari penjaja dan pembeli ikan di TPI Lappa merupakan suatu bentuk tontonan tersendiri yang amat mengasikkan.
Selain itu yang paling digemari para pengunjung dan anda harus membuktikannya sendiri adalah menikmati gurihnya ikan segar yang dibakar sendiri oleh pengunjung ataupun menggunakan jasa pemilik kios-kios pembakaran ikan yang tersedia disekitar tempat tersebut. Wisata yang ramai pada malam hari tersebut, sangat khas dan mungkin tiada duanya si Sulawesi Selatan, bahkan Indonesia.
Dari TPI Lappa ini pulalah dengan aman anda menyeberang ke Pulau-Pulau Sembilan, yang jaraknya 3 mil laut dengan menggunakan perahu-perahu jonson yang telah disiapkan oleh para pelaut ulung dan profesional Pulau Sembilan

Pantai Ujung Kupang


Pantai Ujung Kupang Terletak di Kecamatan Sinjai Timur sekitar 15 Km dari pusat kota Sinjai. Ujung kupang merupakan salah satu objek wisata yang berpantai pasir putih selain yang anda dapat jumpai di gugusan pulau sembilan. Objek ini juga bersebelahan langsung dengan gugusan pulau-pulau sembilan dan hutan bakau Tongke-Tongke.
Pada setiap tahunnya anda dapat menyaksikan atraksi lomba perahu tradisional dan atraksi budaya Ma'rimpa Salo, yaitu sebuah kegiatan ritual yang bermakna kesyukuran atas keberhasilan panen, baik di darat (petani) dan dilaut (nelayan), yang diwujudkan dalam suatu bentuk penangkapan ikan dengan cara menghalaunya ke muara sungai dengan menggunakan ratusan perahu tradisional, yang dilengkapai dengan pelaralatan jaring tradisionalnya.
Masih bertempat di atas ratusan perahu-perahu tersebut dilakukan pula atraksi seni tradisional, seperti : pergelaran musik dan pencak silat yang diiringi dengan tabuhan genderang yang bertaluh-taluh dan alat musik lainnya sambil menghalau ikan menuju ke muara, yang sebelumnya telah dipasangi Belle (perangkap yang terbuat dari bambu). Selain ikan-ikan tersebut masuk ke dalam perangkap, penagkapan pun dengan serta merta dilakukan secara beramai-ramai. Ikan hasil tangkapan mereka tersebut dibawa ke darat kemudian dibakar secara tradisional dan dinikmati oleh seluruh pengunjung yang ada. Kegiatan ini telah berkalender pada setiap bulan Agustus ( Tanggal 15 Agustus tahun berjalan

Pulau-Pulau Sembilan / Pulau-pulau kecil

Pulau-Pulau Sembilan / Pulau-pulau kecil Terletak di Kecamatan Pulau Sembilan sekitar 3 mil dari pusat kota Sinjai. Obyek wisata tersebut dapat ditempuh sekitar 15 hingga 20 menit perjalanan laut dengan menggunakan perahu motor.
Pulau-Pulau Sembilan merupakan deretan pulau-pulau kecil, yang oleh Pemda Sinjai dijadikan sebagai kawasan wisata bahari, terutama dengan adanya terumbu karang dan aneka jenis ikan hias yang indah, yang hidup pada perairan laut disekitarnya.
Dikatakan Pulau Sembilan, karena kawasan tersebut terdiri dari sembilan pulau, yaitu ; Kambuno, Liang-Liang, Burunglo'e, Kodingere, Batanglampe, Katindoang, Kanalo I, Kanalo II, dan Lare-rea. Diantara sembilan pulau kecil tersebut satu diantaranya adalah pulau Larea-rea yg tidak berpenghuni. Kawasan wisata bahari tersebut juga didukung dengan adanya satu pulau kecil yang baru muncul yaitu pulau pasir (pulau yang terbentuk dari pasir yang halus berbentuk kristal), yang cukup terkenal dengan keindahannya.
Di sepanjang pantai Pulau-Pulau Sembilan anda dapat menikmati indahnya kemilauan pasir putih dan bonsai-bonsai laut yang tumbuh secara alami. Selain itu, kawasan Pulau-Pulau Sembilan yang didukung dengan gulungan arus gelombang yang amat kecil dan tenang, bahkan hampir-hampir tidak pernah dijumpai adanya ombak yang besar, sehingga sangat cocok untuk dijadikan sebagai arena olahraga air, seperti ; menyelam, ski air, dayung dan mancing

Taman Purbakala Batu Pake' Gojeng Sinjai


Taman Purbakala Batu Pake' Gojeng Terletak di kelurahan Biringere Kec. Sinjai Utara lebih kurang 2 km dari pusat kota Sinjai. Batu Pake berarti batu yang dipahat sedangkan gojeng adalah nama tempat lokasi dimana batu pahat tersebut ditemukan. Dibawah batu pahat tersebut terdapat kuburan batu, sehingga masyarakat setempat lebih mengenal lokasi tersebut sebagai kuburan batu.
Ketika dilakukan penggalian penyelamatan (rescue excavation) pada tahun 1982, di kawasan Batu Pake Gojeng ditemukan berbagai jenis Benda Cagar Budaya (BCB) bergerak seperti keramik dan pecahan-pecahannya , yang diperkirakan berasal dari zaman Dinasti Ming, Fosil Kayu dan Peti Mayat.
Dari puncak bukit Batu Pake Gojeng ini anda dapat menyaksikan pusat kota Kabupaten Sinjai dengan panorama alam yang indah dilatarbelakangi oleh hijaunya pertumbuhan hutan bakau (mangrove) di Tongke-Tongke dan deretan pulau-pulau sembilan (gugusan pulau-pulau kecil

Benteng Balangnipa Kabupaten Sinjai



Benteng Balangnipa 
Terletak di Kelurahan Balangnipa Kec. Sinjai Utara lebih kurang 1 km dari pusat kota Sinjai. Benteng Balangnipa di bangun pada tahun 1557 oleh persetujuan tiga kerajaan yaitu : Bulo-Bulo, Tondong dan Lamatti, yang dikenal dengan nama kerajaaan Tellu Limpo'e.
pada awal pembangunannya, benteng Balangnipa hanya terbuat dari batu gunung yang di ikat dengan lumpur dari sungai Tangka dengan ketebalan dinding "Siwali reppa" (setengah depa). Bentuk dan struktur bangunan benteng tersebut adalah segi empat dan memiliki 4 buah bastion (pertahanan). Ketika Belanda bermaksud menyerang dan menguasai Sinjai, benteng Balangnipa kemudian dijadikan sebagai benteng pertahanan guna membendung serangan yang dilancarkan oleh Belanda dari teluk Bone.
Perlawanan raja-raja dari Tellulimpo'e tersebut dalam menentang agresi Belanda sangat dahsyat sebagaimana dilukiskan dalam sejarah Rumpa'na Mangarabombang atau perang Mangarabombang melawan agresi Belanda tahun 1859-1961.
Karena kekuatan dan peralatan perang kerajaan Tellulimpoe tidak sebanding dengan kekuatan yang dimiliki Belanda , Benteng Balangnipa akhirnya berhasil direbut oleh pasukan Belanda pada tahun 1859 melalui perang Mangarabombang. Setelah Belanda berkuasa di wilayah Persekutuan Kerajaan Tellulimpo'e (Kabupaten Sinjai sekarang), Benteng balangnipa dipergunakan untuk membendung, baik dari serangan dari orang-orang pribumi, persekutuan kerajaan Tellulimpo'e maupun serangan darikerajaan-kerajaan lainnya.
Pada tahun 1864 Benteng Balangnipa direnovasi oleh Belanda dengan menggunakan sentuhan arsitektur eropa dan selesai pada tahun 1868 (dengan bentuk seperti sekarang).
Benteng Balangnipa hingga saat ini tetap terpelihara sebagai salah satu situs peninggalan sejarah kepurbakalaan dan dipergunakan sebagai museum dan pembinaan budaya dan arena atraksi seni budaya tradisional.

KARAMPUANG


KARAMPUANG:
Interaksi Manusia Dengan Hutan
                     A. Pendahuluan
Hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijembatani oleh kebudayaan yang dimilikinya. Dilihat dari segi ini, kebudayaan dapat dikatakan bersifat adaptif karena melengkapi manusia dengan cara cara penyesuaian diri pada kebutuhan kebutuhan fisiologis dari badan mereka sendiri, penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis, maupun lingkungan sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah berkembang, hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini tidaklah mengherankan karena kalau sifat sifat budaya tidak disesuaikan dengan beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang.
Sebagaimana kebudayaan itu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan kebutuhan kebutuhan biologis, kebudayaan juga merupakan hasil dan sarana untuk penyesuaian pada lingkungan sosial. Perubahan perubahan ekonomi dan kesempatan dalam bidang sosial merangsang munculnya bentuk bentuk kelakuan baik yang memecahkan masalah masalah baru, kemudian bisa menjadi pola pola yang secara berulang terwujud dan pada akhirnya menjadi milik bersama. Pola pola kelakuan, norma norma, dan aspirasi aspirasi terwujud dalam melakukan adaptasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya kebudayaan bermula pada adanya respon respon terhadap situasi situasi seperti kondisi ekonomi, sosial dan kondisi lainnya.
Kebiasaan atau kelakuan yang terpolakan, yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan berarti mewakili semua cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang sama. dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan mungkin akan memilih cara cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. kondisi seperti itulah yang menyebabkan timbulnya keanekaragaman budaya.
Komunitas adat Karampuang di Desa Tompo Bulu, Kecamatan Bulupoddo Kabupaten Sinjai, memiliki kebudayaan yang diyakini sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya ialah kebudayaan yang senantiasa tetap menjaga dan memelihara kelestaraian hutan. Menurut beberapa informasi, sampai saat ini masyarakatnya masih berupaya mempertahankan beberapa tradisi warisan leluhur atau cikal bakal desa seperti selalu menyelnggarakan upcara bersih desa secara teratur setiap tahun, membersihkan sumber air secara bersama sama, mengadakan penghijauan dan sasana serta kondisi pemukimannya mencerminkan sebuah Assijampangeng dan Assamaturuseng.
Hal lain yang tidak bisa dilewatkan dalam mempelajari manusia dan kebudayaan adalah adanya perubahan perubahan yang mempengaruhi aspek aspek kehidupan masyarakat itu sendiri. Penyebab adanya perbahan itu diantaranya adalah pertambahan penduduk, pengaruh kebudayaan lain, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan pergantian generasi.
Masyarakat yang mendiami kawasan adat Karampuang adalah masyarakat yang dinamis dalam arti cenderung selalu untuk berubah. Hasil pengamatan dan beberapa literatur mengungkapkan bahwa dewasa ini, terdapat kecenderungan untuk memudarnya nilai nilai budaya pada setiap segi kehidupan. Perubahan tersebut wajar terjadi mengingat kebudayaan tidaklah bersifat statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun, suatu masyarakat dan kebudayaannya akan berubah dengan berlakunya waktu, ditambah lagi memang masyarakat Karampuang termasuk masyarakat terbuka.
Salah satu upaya untuk mengurangi dan mengatasi dampak negatif dari perubahan sosial budaya adalah dengan jalan menggali, melestarikan, mengkaji serta membina dan mengembangkan kembali nilai nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat. Atas dasar hal itu, maka penting artinya untuk mendokumentasikan dan mengkaji unsur unsur budaya yang masih hidup, mengingat arus pengaruh baik berupa unsur unsur kebudayaan dari luar maupun pengaruh pembangunan sudah semakin besar dan makin intensif. Salah satu dari usaha tersebut adalah menggali nilai kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat yang mendiami kawasan adat Karampuang dalam upayanya menjaga kelestarian hutan.

B. Manusia dan Hutan Karampuang
Menurut defenisi yang diberikan oleh United Nation Economic and Social Council ( UNESCO ), masyarakat adat atau tradisional adalah suku suku dan bangsa yang, karena mempunyai kelanjutan historis dengan masyarakat sebelum masuknya penjajah di wilayahnya, menganggap dirinya berbeda dengan kelompok masyarakat lain yang hidup di wilayah mereka. ILO mengkategorikan masyarakat adat sebagai (1) suku suku asli yang mempunyai kondisi sosial budaya dan ekonomi yang berbeda dari kelompok masyarakat lain di sebah negara, dan yang statusnya sebagian atau seluruhnya diatur oleh adat kebiasaan, tradisi, hukum dan aturan mereka sendiri yang khusus. (2) suku suku yang menganggap dirinya atau dianggap oleh orang lain sebagai suku asli karena mereka merupakan keturnan dari penduduk asli yang mendiami negeri tersebut sejak dulu kala sebelum masuknya bangsa penjajah, atau sebelum adanya pengaturan batas batas wilayah administratif seperti yang berlaku sekarang, dan yang mempertahankan atau berusaha untuk mempertahankan sebagian ata semua ciri dan lembaga sosial, ekonomi, budaya dan politik yang mereka miliki.
Berdasarkan pengertian itu, masyarakat adat juga dikenal sebagai memiliki bahasa, bdaya, agama, tanah dan teritori yang terpisah dari kelompok masyarakat lain, dan hidup jauh sebelum terbentuknya negara moderen. Mereka pun memiliki ciri khas yang berbeda dengan masyarakat sekitarnya.
Hal yang paling fundamental dari perspektif etika lingkungan adalah kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat di seluruh dunia yang memandang dirinya, alam dan relasi antara keduanya dalam perspektif religius dan spiritual. Maka alam dipahami oleh semua masyarakat tradisional sebagai sakral. Spiritualitas merupakan kesadaran yang paling tinggi sekaligs menjiwai dan mewarnai seluruh relasi dari semua ciptaan di alam semesta.
Dalam perspektif itu, masyarakat adat Karampuang memahami dan menghayati agama sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan untuk menata seluruh hidup manusia dalam relasi yang harmonis dengan sesama manusia dan alam termasuk hutan. Dalam penghayatan yang seperti itulah, masyarakat adat selalu ingin membangun kebersamaan dengan hutan, manusia dan yang gaib dengan pemahaman bahwa yang gaib selalu bersatu dan bersama dengan yang materiaiil.
Pengaruh langsungnya adalah setiap perilaku manusia, bahkan sikap batin yang paling tersembunyi di lubuk hatinya, harus mendapatkan dalam konteks yang sakral, dalam spiritualitas. Maka, baik secara individual maupun kelompok, perilaku dan sikap batin manusia harus murni, bersih terhadap diri sendiri, sesama dan alam. Sikap hormat dan menjaga hubungan baik, yang tidak boleh dirusak dengan perilaku yang merugikan, menjadi moral yang selalu di patuhi oleh mereka dan selalu dijaga dengan berbagai ritual dan upacara adat.
Dalam arti itu, moralitas adalah tuntutan inheren oleh masyarakat adat Karampuang. Moralitas ini tidak hanya menyangkut perilaku mereka dengan sesamanya, tetapi mereka juga dengan hutan. Ada keyakinan religius moral, bahwa sikap batin dan perilaku yang salah, yang bengkok dan merusak tatanan dengan manusia dengan hutan kan mendatangkan malapetaka, baik bagi diri sendiri maupun terhadap komunitas. Dalam konteks itu, bisalah dipahami bahwa semua bencana alam ataupun kegagalan panen, semuanya dianggap bersumber dari kesalahan sikap batin dan perilaku manusia, baik terhadap sesama maupun terhadap hutan. Perlu ada rekonsiliasi dalam bentuk upacara religius, upacara adat dengan membawa sesaji terhadap hutan yang telah dirusak. Perlu ada pemulihan kembali relasi yang rusak. Dengan kata lain, perilaku moral, baik terhadap sesama maupun terhadp hutan, adalah bagian dari cara hidup, dari adat kebiasaan, dari etika masyarakat adat Karampuang.
Secara khusus, masyarakat adat Karampuang menganggap bahwa tanah memiliki arti yang sangat penting. Tanah bagi mereka adalah sumber kehidupan, yang tentunya harus di peliahara dan dihargai sebab tanah adalah ibu dari segala kehidupan. Makanya, bagian dari tanah seperti air, binatang dan tumbuhan harus dijaga. Dan bagi mereka hutan sangat memberi manfaat karena di dalamnya terdapat berbagai macam ekosistem yang hidup dan bisa dimanfaatkan oleh manusia.
Masyarakat adat Karampuang percaya bahwa semua ciptaan merupakan satu kesatuan menyeluruh yang harmonis. Roh halus ada di mana mana, dan semua elemen alam yakni binatang, tumbuhan, hutan, gunung dan sungai mempunyai jiwa. Tetapi, lebih dari sekedar memiliki jiwa, semuanya mempunyai kepribadian, masing masing ada penunggunya dengan kepribadian atau karakternya sendiri.
Ini tidak lalu berarti, bintang dan tumbuhan yang ada di dalam hutan tidak boleh dimanfaatkan oleh manusia. Masyarakat adat Karampuang justru menggantungkan sebagian pencaharian hidupnya pada binatang dan tumbuhan yang ada di hutan. Bahkan kegiatan berburu dan mengumplkan hasil hutan terkadang mereka laksanakan. Hanya saja semua kegiatan tersebut ditempatkan dalam konteks keterkaitan seluruh kehidupan dalam sakralitasnya. Maka semua aktivitas itu diliputi oleh tabu dan upcara religius moral untyk mengekspresikan sikap hormat dan apresiasi akan nilai kehidupan dari makhlk lain tersebut. Ini juga dipahami sebagai semacam “minta izin” yang sakaligus berarti pengluhuran terhadap makna kehidupan itu sendiri, yang dikorbankan demi kehidupan makhluk lain. Melalui jalan itu, relasi dan keterkaitan jaring kehidupan diteguhkan.
C. Kearifan Tradisional Masyarakat Karampuang
Yang dimaksudkan dengan kearifan tradisional di sini adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan tradisional ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi di antara semua komunitas ekologis bisa terbangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan dan diajarkan dan diwariskan dari generasi yang satu ke nerasi berikutnya, sebagai pembentuk pola perilaku manusia dalam melakoni kehidupan sehari hari, baik terhadap sesama manusia, alam dan terhadap yang gaib.
Hal ini menunjukkan bahwa kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula yang dikenal sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik komunitas. Kearifan tersebut dimiliki dan disebarluaskan secara kolektif bagi semua anggota komunitas. Ia terbuka untuk diketahui, bahkan harus diajarkan secara terbuka untuk dimiliki dan dihayati semua anggota komunitas.
Kearifan tradisional juga berarti pengetahuan tradisional yang lebih bersifat praktis. Pengetahuan dan kearifan masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam. Pengetahuan ini mencakup juga bagaimana memperlakukan setiap bagian dan kehidupan dalam alam sedemikian rupa, baik untk mempertahankan kehidupan masing masing spesies maupun untuk mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri.
Sebagai sesuatu yang menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta maka kearifan tradisional bersifat holistik. Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus merupakan suatu pengetahuan menyeluruh. Demikian pula subyek manusia yang memahami alam adalah subyek yang terlibat dalam alam. Alam dipahami sebagai penuh dengan nilai dan pesan moral. Alam mengirim pesan dan perintah moral untuk dipatuhi manusia termasuk pesan moral berupa menghormati kehidupan. Karena alam adalah kerabat, pada dirinya sendiri ada nilai yang harus dipatuhi.
Berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Aktivitas tersebut adalah aktivitas yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu tabu moral yang bersumber dari kearifan tradisioanal. Berikut beberapa uraian yang menyangkut keraifan tradisional yang terdapat dalam masyarakat adat Karampuang yang berkaitan dengan alam khususnya yang menyangkut pemamfataan, pengelolaan dan pembangunan kehutanan.
1. Sikap Hormat Terhadap Alam
( Mappakalebbi Ale Hanua )
Setiap anggota komunitas adat karampuang utamanya sebagai manusia patutlah kiranya memiliki kewajiban moral untuk saling menghormati. Secara khusus, sebagai pelaku moral, manusia mempunyai kewajiban moral untk menghormati dan menghargai kehidupan, baik pada manusia maupn pada makhluk lain dalam suatu komunitas ekologis seluruhnya. Bahkan berdasarkan hasil wawancara dari Mangga ( Senin, 14 September 2009 ) mengatakan bahwa “ setiap manusia yang bermukim di tempat ini diharuskan dan dituntut untuk menghargai dan menghormati alam sekitar termasuk didalamnya adalah hutan, karena semua benda yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Puang SewwaE yang memiliki hak yang sama untuk hidup, berada, dan berkembang.
Hormat terhadap hutan merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari alam semesta seluruhnya. Seperti halnya, setiap anggota komnitas sosial mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama. Demikian pula setiap anggota komunitas adat Karampuang sebagai bagian dari komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati setiap kehidupan dan spesies dalam komunitas ekologis itu, serta mempunyai kewajiban moral untuk menjaga kebersamaan dan keselarasan dengan hutan sekitar, karena hutan merupakan bagian terpenting bagi kehidupan manusia. Sama halnya dengan setiap anggota keluarga memiliki kewajiban untuk menjaga keberadaan, kesejahteraan, dan kebersihan keluarga, setiap anggota komunitas adat Karampuang juga memiliki kewajiban untuk menjaga hutan di sekitarnya sebagai mana layaknya sebuah rumah tangga. Hal ini senada dengan keterangan yang dikemukakan oleh Mangga ( Senin 14 September 2009 ) bahwa :
Sinin fabbanua monroe keddi di karampuang mappunnaiki jama jamang untu piarai nennia jagaiki alee sippadato kennanna jama jamanna jagaiki keluargana, nasaba narekko masolangngi alee majeppu naseng masollattoi atuo tuonna fabbanuae. ( seluruh penduduk yang tinggal di daerah Karampuang memilki pekerjaan atau tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga kelestarian hutan seperti halnya menjaga anggota keluarganya , sebab kalau hutan mengalami kerusakan maka penduduk pun akan mengalami kerusakan atau kecelakaan.
Dengan kata lain, hutan mempunyai hak untuk dihormati, tidak saja karena kehidupan manusia bergantung pada hutan. Tetapi terutama karena kenyataan bahwa manusia adalah bagian integral dari hutan itu sendiri dan manusia adalah anggota komunitas ekologis. Bahkan dalam perspektif ekofeminisme, sikap hormat terhadap alam ini lahir dari relasi kontekstual manusia dengan alam dalam komunitas ekologis tadi.
Sebaliknya, dari perspeketif teori mengenai hak asasi hutan, ketika kita menerima bahwa hutan dan segala isinya mempunyai status moral dan hak, maka konsekuensi logisnya, manusia sebagai pelaku moral, berkewajiban menghargai kehidupan hutan, kehidupan semua makhluk yang ada di dalamnya. Manusia berkewajiban menghargai hak segala makhluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tjuan penciptaannya oleh Puang SewwaE. Maka sebagai perwujudan nyata dari penghargaan itu, manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi dan melestarikan hutan beserta segala isinya. Sebagai mana yang diutarakan oleh Mangga ( Senin 14 September 2009 ) bahwa :
Keddi di kampongnge, narekko engka fabbanua elo mattubbang aju dilalenna alee, farellui lebbi riolo mapparafe llao rifammarenta setemapae yanaritu pak desa sibawa Gellae. Yatommi nadilorang mattubbang aju narekko eloki nakkebbu fareha bola, tania anu elo nabalu. Nakko engka tau mattubbang aju, nappa de napparafe lao ri fammarentae, didosai semmeng dua ssa iyarega de nahadere fammarentae narekko engka nafegau iyarega de nadilayani narengko engka farellunna llao di fammarentae. ( di kampung ini, kalau ada penduduk yang hendak menebang kayu di hutan, hendaknya terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah, dalam hal ini adalah kepala desa atau kepala dusun. Pendduk diizinkan menebang kayu di hutan jika kayu itu hendak dipergunakan sebagai perlengkapan dalam membangun rumah, bukan untuk di jual. Kalau ada penduduk yang menebnag kayu lantas tidak meminta izin sama pemerintah, maka dia akan didenda 5 sak semen atau pemerintah tidak hadir ketika ia melaksanakan hajatan, atau tidak dilayani ketika ada keperluan administrasinya di kantor desa.
Hal ini berarti bahwa penduduk yang bermukim di kawasan adat Karampuang tidak dibolehkan untuk menebang kayu dihutan untuk kepentingan ekonomi, apalagi melakukan tindakan yang dianggap dapat merusak dan menghancurkan hutan beserta isinya, tanpa alasan yang bisa dibenarkan oleh adat, moral dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
2. Prinsip Tanggung Jawab
( Jujung Matane )
Terkait dengan prinsip hormat terhadap hutan di atas adalah tanggung jawab moral terhadap hutan, karena secara ontologis manusia adalah bagian dari integral dari htan itu sendiri yang ada di Karampuang. Kenyataan ini saja melahirkan sebuah prinsip moral bahwa manusia mempunyai tanggung jawab ( jujung matane ) baik terhadap hutan beserta isinya, baik dari segi keberadaan hutan itu sendiri maupun dari segi kelestariannya, khususnya pohon kayu ataupun makhluk hidup lainnya yang ada di dalamnya. Dalam pandangan masyarakat Karampuang, setiap bagian dan benda yang ada di dalam hutan ataupun di seluruh alam ini diciptakan oleh Puang SewwaE dengan tujuannya masing masing, terlepas dari apakah tujuan itu untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu, manusia sebagai bagian dari alam semesta, bertanggung jawab pula untuk menjaganya.
Tanggng jawab ini bukan saja bersifat individual melainkan juga secara kolektif. Rinsip tanggung jawab moral ini menuntut manusia untuk mengambil prakarsa, usaha, kebijakan, dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga hutan beserta isinya. Hal ini berarti kerusakan dan kelestarian hutan merupakan tanggung jawab bersama seluruh masyarakat adat Karampuang. Wujud konkretnya, semua penduduk harus bisa bekerjasama bahu membahu untuk menjaga dan melestarikan hutan, dan menjaga serta memulihkan kerusakan alam dan segala isinya. Tanggung jawab bersama ini pula terwujud dalam bentuk sifaringngerrangi ( saling mengingatkan ), melarang dan menghukum siapa saja yang secara sengaja atapun tidak sengaja merusak dan membahayakan eksistensi hutan, bukan karena manusia tergantung dari eksistensi hutan ini, melainkan karena hutan bernilai pada dirinya sendiri.
Atas dasar prinsip inilah, maka secara normatif apa yang dikatakan oleh Garret Hardin sebagai tragedi milik bersama tidak terjadi di kawasan Hutan Karampuang. Tragedi milik bersama terjadi ketika setiap orang merasa bahwa karena tidak ada yang menjadi pemilik dari hutan tersebut, maka setiap orang berusaha untuk masing masing mengeruk milik bersama itu sebanyak banyaknya secara eksplotatif tanpa adanya rasa tanggung jawab sama sekali untuk menjaga dan melestarikannya. Berbeda dengan milik pribadi, di mana setiap orang merasa bertanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya, berbeda dengan milik bersama yang dieksploitasi tanpa tanggng jawab sama sekali, karena tidak ada rasa memiliki atas milik bersama itu.
Dengan prinsip tanggung jawab pribadi maupn tanggung jawab secara bersama itu, setiap orang dituntut dan terpanggil untuk bertanggung jawab memelihara hutan sebagai milik bersama dengan rasa memiliki yang tinggi seakan merpakan milik pribadinya. Tanggung jawab ini muncul karena adanya pandangan masyarakat adat Karampuang bahwa hutan bukan sekadar untuk kepentingan manusia. Bahkan dari hasil perbincangan dengan Kepala Desa Tompo Bulu, Abdul Muin ( Senin 14 Sepetember 2009 ) mengutarakan bahwa
Ketika hutan Karampuang dipandang semata mata sebagai kebutuhan dan kepentingan manusia, maka hutan itu akan ditebang dan diambil kayunya oleh penduduk sesuai dengan keinginannya, tetapi saya sangat bersyukur karena hal itu tidak terjadi. Malah atas kesadaran sendiri masyarakat di sana sangat menghargai hutan sebagai harta yang sangat bernilai, sehingga rasa tanggung jawabnya muncul dengan sendirinya, walaupun hutan itu adalah kepemilikan bersama.
Oleh karena itu, tanggung jawab moral bukan saja bersifat antroposentris egoistis, melainkn juga kosmis. Suatu tanggung jawab karena panggilan kosmis untuk menjaga hutan, untuk menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem. Tnggung jawab yang menyebabkan manusia merasa bersalah ketika terjadi bencana alam karena keseimbangan ekosistem terganggu. Berdasarkan keterangan dari Tolleng ( Senin 14 Sepetember 2009 ) bahwa :
Pada tahun 2004 pernah terjadi suatu kebakaran di hutan ini yang sangat besar, dan hampir seluruhnya masyarakat di kampung ini turun untuk memadamkan api. Pada saat itu kami sangat kesulitan untk memadamkan api karena tidak ada sumber air yang dekat karena musim kemarau, maka kami memadamkan api dengan cara disarampa ( memadamkan api dengan cara memukul api menggunakan dedaunan ). Hampir sehari penuh. Setelah itu atas kesepakatan masyarakat, tokoh adat dan tokoh masyarakat, maka masyarakat di sini mengadakan upacara tula bala dengan cara membawa tuli ( sesaji ), berdoa untuk mengungkapkan rasa penyesalan dan rasa bersalahnya kepada Puang Sewwae karena lalai menjaga hutan.
Keterangan di atas jika dikaitkan dengan cara pandang Arne Naess, kita dapat mengatakan bahwa tanggung jawab masyarakat Karampuang ini muncul sebagai perwujudan ecosophy, suatu kearifan untuk menjaga dan merawat hutan ini sebagai rumah sendiri. Kearifan seperti itu bukan saja didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan demikian manusia betah untuk tinggal disekitar kawasan hutan. Selain itu terutama karena hutan memang perlu dirawat sebagai rumah sendiri yang sangat bernilai bagi setiap manusia.
3. Memanusiakan Hutan
( Mappattau Ale )
Terkait dengan prinsip moral tersebut adalah prinsip memanusiakan hutan. Sama halnya dengan kedua prinsip tadi, prinsip memanusiakan hutan muncul dari adanya kesadaran bahwa manusia adalah bagian integral dari hutan itu sendiri. Lebih dari itu, jika dipandang dari sudut ekofeminisme, manusia mempunyai kedudukan setara dan sederajat dengan alam dalam hal ini adalah hutan beserta semua makhluk yang ada di dalamnya. Kenyataan ini kemudian membangkitkan dalam diri manusia perasaan solidaritas, perasaan sepenanggungan dengan hutan dan sesama makhluk hidup yang lain. Hal ini terungkap dari adanya pernyataan dari seorang warga Karampuang yang bernama Mappiare ( Senin 14 September 2009 ) bahwa :
Kami yang bermukim di kampung ini merasa bersyukur kepada Allah karena disediakan sumber daya alam berupa hutan yang sangat luas. Tentunya ini adalah anugrah yang kami harus jaga dan pelihara. Sebab sebagian hidup kami tergantung pada hutan contohnya saja tempat mengambil kayu bakar ataupun perkakas untuk membuat rumah tinggal. Akibatnya saya ataupun penduduk yang ada di sini merasa sedih dan bersalah ketika hutan mengalami kerusakan ataupun kebakaran. Saya merasa sedih dan sakit ketika berhadapan dengan kenyataan yang pahit berupa rusak dan punahnya makhluk hidup tertentu. Dulu, di hutan ini masih banyak dijumpai bekku jaha ( burung perkutut ) tetapi karena sering ada pemburu liar yang datang dan menembaki seenaknya maka saat ini tidak ada lagi binatang seperti itu.
Prinsip memanusiakan hutan ini lalu mendorong masyarakat Karampuang untuk menyelamatkan lingkungan termasuk hutan, sebagai upaya untuk menyelamatkan seluruh kehidupan yang ada di alam ini. Karena, hutan dan semua kehidupan yang ada di dalamnya memiliki nilai yang sama dengan hidup manusia. Dengan adanya sikap memanusiakan hutan, maka hal ini tentunya mencegah manusia untuk tidak merusak dan mencemari hutan dan seluruh kehidupan yang ada di dalamnya, sama ketika manusia tidak ingin merusak kehidupan rumah tangganya sendiri. Sikap memanusiakan hutan merupakan dan berfungsi sebagai pengendali moral, atau masyarakat Karampuang mengenalnya dengan istilah femmali yaitu adanya ketakutan untuk merusak hutan karena dapat mendatangkan bahaya atau bala bagi manusia. Hal ini diperkuat dengan adnya keterangan dari Mangga ( Senin 14 September 2009 ) bahwa :
Nigi nigi tau nasangngaja ssolangiki alee, majeppu naseng de naulle madesyeng hega atuo tuonna, de naulle mita fallumpaja, nasaba yaro alee fappada muto taue. Elomuto tuo, elomuto dihargai na dijagai. De kale nahedding taue kasina makkasolang lao di alee. Manikke mappafole bala sippada de naelo jaji fanaunengnge iyarega makencangngi anu manre lao di fanaunengnge. ( barang siapa yang sengaja merusak hutan, maka kehidupannya tidak akan tenang atau mencapai kesejahteraan, karena hutan itu tidak ada bedanya dengan manusia. Hutan juga butuh penghargaan dan pemeliharaan. Olehnya itu seseorang tidak bisa sama sekali merusak hutan. Sebab bisa mendatangkan bahaya misalnya tanaman tidak bisa mendatangkan hasil secara maksimal atau tanaman akan mengalami kerusakan karena diserang hama ).
Dengan demikian dalam masyarakat yang masih sangat menjunjung nilai nilai kearifan lokal atau petuah leluhur, seperti yang terjadi pada masyarakat Karampuang tentunya membawa dampak yang positif bagi kelestarian hutan. Sebab nilai nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Karampuang mampu mengharmoniskan perilaku manusia dengan ekosistem yang ada di sekitarnya. Sebab nilai atau prinsip memanusiakan hutan mampu berfungsi sebagai pengontrol perilaku manusia dalam batas batas keseimbangan kehidupan antara manusia dengan alam sekitar.
Sikap memanusiakan hutan juga mendorong manusia untk mengambil kebijakan yang pro alam, pro lingkungan, atau menantang setiap tindakan yang merusak alam. Pada khususnya sikap semacam ini mendorong manusia untuk mengutuk dan menentang setiap tindakan yang menyakitkan binatang tertentu atau tindakan yang menyebabkan musnahnya spesies tertentu. Hal ini terungkap atas keterangan dari Mappiare ( Senin 14 September 2009 ) bahwa :
Ketika daerah ini belum terlalu dijamah oleh orang, sebab memang pada saat itu hubungan dengan dunia luar masih sangat terbatas karena sarana dan prasarana perhubungan juga masih terbatas, di hutan Karampuang masih banyak hidup burung seperti bekku jaha, fetteng, dan fute fili. Tetapi begitu sarana perhubungan dan transportasi begitu lancar dari daerah ini ke daerah lain, maka banyak datang pemburu dan menembaki itu burung dengan senapan. Kami pun merasa jengkel dengan mereka tetapi apa boleh buat sebab mereka yang datang itu adalah rata rata pejabat dari daerah beserta ajudannya, bahkan banyak polisi. Kita kan tahu, betapa takutnya orang dahulu terhadap orang berpangkat, apalagi polisi. Nanti pada masa Muh.Rum yang menjadi Bupati Sinjai pemburu sudah dilarang masuk di hutan Karampuang karena adanya keberatan dan laporan dari kepala desa kami yang pada saat itu dijabat oleh Petta Sawi.
Nampaknya, dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa sikap yang ditempuh oleh masyarakat setempat untuk mencegah terjadinya perbruan liar, bukan hanya karena adanya perasaan akan terganggunya kehidupan mereka, tetapi di lain sisi mereka juga merasa sakit sama akan hal yang dialami oleh spesies tersebut. Mereka ikut merasa prihatin dan sedih dengan mulai punahnya spesies tersebut.
4. Prinsip Kasih Sayang dan Kepedulian
( Makkamase Ale )
Ini merupakan prinsip etika yang paling ditekankan oleh ekofeminisme. Sebagai sesama anggota komunitas ekologis yang sederajat atau setara, manusia digugah untuk mencintai, menyayangi, dan peduli kepada hutan dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan dominasi. Kasih sayang dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa sesama sesama anggota komunitas ekologis, sema makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti dan butuh perawatan. Hal ini sesuai dengan keterangan yang dipaparkan oleh Abdul Muin, Kepala Desa Tompo Bulu ( Senin 14 September 2009 ) bahwa :
Demi keberlangsungan dan kelestarian hutan di daerah ini, saya selalu mengajak masyarakat untuk senantisa mengedepankan prinsip sifammase mase ( kasih sayang ) dengan hutan. Sebab kami menyadari, kalau bukan kami sendiri yang menjaga hutan di sini, maka dengan sndirinya hutan itu nantinya perlahan lahan akan habis juga. Kami selalu mendengar di Televisi bahwa hutan itu bukan hanya warisan dari nenek moyang tetapi itu adalah titipan anak cucu kami di masa yang akan datang. Jika hutan itu mengalami kerusakan maka bukan hanya kami sendiri yang akan merasaka akibatnya, tetapi banyak juga makhluk hidup yang menggantungkan hidupnya didalam hutan yang akan musnah.
Menarik memang, rupanya prinsip kasih sayang dan kepedulian adalah prinsip moral satu arah, menuju yang lain, tanpa mengharapkan balasan. Ia tidak didasarkan pada petimbangan kepentingan pribadi, tetapi semata mata demi kepentingan hutan. Yang menarik adalah, adanya kesadaran dari mereka bahwa semakin mencintai dan peduli kepada hutan, maka mereka akan semakin berkembang menjadi manusia yang matang, sebagai pribadi yang identitasnya makin kuat. Karena, hutan memang memberi kehidupan, tidak hanya dalam pengertian fisik, melainkan juga dalam pengertian mental dan spiritual.
Dalam pandangan mereka, justru dalam mencintai hutan, manusia semakin kaya dan semakin merealisasikan dirinya sebagi pribadi yang ekologis. Manusia semakin tumbuh berkembnag bersama alam, dengan segala watak, dan kepribadian yang tenang, damai, penuh kasih sayang, luas wawasannya seluas alam, demokratis seperti alam yang menerima dan mengakomodasi perbedaan dan keragaman. Hal ini senada dengan penuturan dari Tolleng ( Senin 14 September 2009 ) bahwa :
Degaga alasang untu de nakkamase tauE llao ri alee. Makkamase bettuanna, fekkuga aro syarata idi rufa tauE jagaiki nennia piarai ro alee. Nasaba marippe ega barakkana aro alee llao ri idi maneng rufa tauE. Marippeto ega faddisengeng farellu riala ri alee. Fappadaenna, yaro alee mabberemi tendiareng, de’toppa nabedakangngi rufa tauE, assaleng engkaha farellu llao ri alena, de natollaki. ( tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mencintai hutan. Mencintai dalam artian bahwa manusia senantiasa harus menjaga dan memelihara hutan. Sebab banyak sekali berkah yang diberikan hutan kepada seluruh umat manusia. Sungguh banyak sekali pengetahuan yang diberikan hutan kepada manusia, misalnya, hutan selalu memberi dengan tangan terbuka tanpa megharapkan balasan, hutan juga tidak membeda bedakan manusia bagi yang membutuhkannya.
5. Prinsip Tidak Merusak
Prinsip moral yang muncul dalam masyarakat adat Karampuang adalah denamakkasolang ( tidak merusak ). Artinya, karena manusia mempnyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap hutan, paling tidak prinsip ini memunculkan kesadaran bagi manusia untuk tidak mau merugikan hutan.
Demikian pula, karena merasa dirinya sebagai anggota atau bagian dari lingkungan itu, maka manusia merasa sebagai teman dari hutan dan selalu peduli terhadap hutan beserta makhluk hidup yang ada di dalamnya. Kewajiban, sikap setia kawan dan kepedulian ini memunculkan tindakan yang tidak merugikan atau mengancam keberadaan dan keberlangsungan makhluk hidup di alam ini, sebagaiman idealnya manusia dilarang melakukan tindakan yang bisa mergikan manusia lain. Dalam masyarakat adat Karampuang, prinsip ini kemudian tertuang dari adanya penghayatan terhadap larangan atau tabu. Misalnya, hutan beserta yang ada di dalamnya seperti batu ataupun kayu dianggap keramat atau sakral sehingga tidak boleh disentuh atau dirusak. Siapa saja yang menyentuhnya, dengan sendirinya akan jatuh sakit ataupun bisa sampai meninggal.
Tentu saja, sebagaimana yang dituturkan oleh Mappiare ( Senin, 14 Sepetember 2009 ) bahwa manusia diperkenankan untuk memanfaatkan segala isi hutan, termasuk binatang dan tumbuhan, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi hal ini dilakukan dengan cara cara yang bijaksana untk tetap menghargai hak binatang dan tumbuhan untuk hidup, dan hanya dilakukan sejauh memenuhi kebutuhan hidup manusia yang paling vital.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang bersifat kemewahan dan di luar batas yang wajar amatlah ditentang karena dianggap merugikan kepentingan makhluk hidup lain ( binatang dan tumbuhan ). Maka dengan sendirinya, penggnaan binatang untuk percobaan dan mode ( kulit binatang untuk pakaian, sepatu, tas ) atau dalam hal ini binatang dan tumbuhan dilarang untuk digunakan dalam kepentingan bisnis, karena hal itu hanya dinikmati oleh satu atau sebagian orang saja.
Dengan kata lain, kewajiban dan tanggung jawab moral bisa dinyatakan dalam bentuk maksimal dengan melakukan tindakan merawat, melindungi, menjaga, dan melestarikan hutan. Sebaliknya, kewajiban dan tanggung jawab moral yang bisa mengambil bentuk minimal, dengan melakukan tindakan yang tidak merugikan hutan beserta segala isinya. Tidak menyakiti binatang, tidak menyebabkan musnahnya spesies tertentu, tidak menyebabkan keanekaragaman hayati terbakar, tidak membuang limbah ataupun sampah seenaknya. Hutan dibiarkan apa adanya tanpa di sentuh, kecuali dengan melakukan upacara atau ritual tertentu sebagaimana yang terungkap dalam tabu. Hal ini terungkap dengan adanya penuturan Mappiare ( Senin, 14 September 2009 ) bahwa :
Sudah menjadi adat atau kebiasaan masyarakat di Karampuang, bahkan hampir di seluruh wilayah desa Tompo Bulu, kalau mereka hendak menebang kayu di hutan ataupun berburu manu kale ( ayam hutan ), maka terlebih dahulu diadakan upacara yang istilahnya di sini adalah maccera ale atau mattuli sebagai bentuk penghargaan atau meminta izin kepada fammaneng tana ( makhluk yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai pihak yang diberi hak oleh Tuhan untuk menjaga tanah ). Ritual seperti ini sudah turun temurun dilaksnakan dan tidak boleh tidak sebab itu adalah pesan dari leluhur atau ade mappura onro.
6. Prinsip Hidup Sederhana
dan Selaras dengan Alam
( Tuo Kamase Mase )
Dalam menjaga dan melestarikan hutan, masyarakat adat Karampuang juga menganut prinsip tuo kamase mase yang saya artikan sebagai prinsip hidup sederhana dan selaras dengan alam. Dengan prinsip ini, yang ditekankan adalah nilai, kualitas, cara hidup yang baik, dan bukan kekayaan, sarana dan standar material. Yang ditekankan bkan raks dan tamak mengumpulkan harta dan mengeruk hasil hutan sebanyak banyaknya demi kepentingan pribadi. Yang lebih penting adalah mtu kehidupan yang baik.
Prinsip ini penting karena, pertama, krisis lingkungan sejauh ini terjadi karena adanya sebagian kalangan yang hanya melihat hutan sebagai obyek eksploitasi dan pemuas kepentingan hidup manusia. Kedua, krisis lingkungan terjadi karena semakin maraknya pola dan aya hidup sebagian manusia moderen yang konsumtif, tamak dan rakus. Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa manusia tidak boleh memanfaatkan hutan untuk kepentingan hidupnya. Abdul Muin ( Senin, 14 September ) menuturkan bahwa
Seandainya kita sebagai manusia mau memahami bahwa kita ini adalah bagian integral dari alam semesta termasuk hutan, maka dengan sendirinya dalam diri kita akan muncul kesadaran untuk memanfaatkan dan mengolah hutan secara secukupnya sesuai dengan keperluan kita. Artinya, ada batas sekadar ntuk hidup secara layak sebagai manusia. Maka sangatlah penting artinya prinsip hidup sederhana menjadi prinsip yang paling mendasar.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa seandainya manusia betul betul memahami prinsip hidup sederhana, maka bersamaan itu pula manusia akan menyadari untuk hidup seadanya sebagaimana hutan itu sendiri. Manusia akan mengikuti hukum alam, yaitu dengan cara memanfaatkan hutan sejauh dengan kebutuhan, dan berarti hidup selaras dengan tuntutan hutan itu sendiri. Manusia tidak perlu rakus, tidak perlu banyak menimbun hasil hutan sehingga membuatnya mengeksploitasi alam tanpa batas.
Hal ini berarti pula bahwa, pola komsumsi dan produksi manusia moderen harus di batasi. Harus ada titik batas yang bisa ditoleransi oleh hutan. Masalah yang kemudian muncul adalah di mana titik batas itu? Siapa yang harus menentukan titik batas itu? Secara moral jawabannya adalah manusia itu sendiri. Masalahnya, siapa yang sanggup mengendalikan diri ketika melihat sesamanya hidup bermewah mewah dalam kelimpahan dan berkelebihan materi. Akibatnya, manusia saling berlomba mengejar kekayaan tanpa memperdulikan efek negatifnya bagi manusia itu sendiri atau tanpa memperdulikan halal haramnya barang itu diperoleh. Jika sudah demikian, perlahan tapi pasti manusia akan berlomba lomba mengeksploitasi alam termasuk hutan itu sendiri. Hal ini merupakan efek dari adanya gaya hidup bersama, budaya moderen, yang sangat materialistis, komsumtif dan eksploitatif.
Pada tingkat seperti itulah, dibutuhkan sebuah gerakan dan kesadaran bersama untuk secara komunal mengbah gaya hidup bersama. Yang jelas, selama kita menerima bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri yang mengedepankan materi, konsumtif dan eksploitatif, prinsip moral hidup sederhana harus diterima sebagai gaya dan pola hidup yang baru. Selama prinsip ini tidak dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik, maka yakin dan percaya saja bahwa kita sulit berhasil menyelamatkan lingkungan kita ( Wawancara dengan Mappiare : Senin, 14 Septemeber 2009 ).
7. Prinsip Keadilan
( Adele )
Prinsip keadilan tidak berbicara tentang perilaku manusia terhadap hutan. Prinsip keadilan lebih berbicara tentang bagaimana manusia harus berperilaku satu terhadap yang lain dalam kaitan dengan hutan dan bagaimana sistem sosial harus diatur agar berdampak positif pada kelestarian lingkungan hidup.
Dalam hal ini, prinsip keadilan terutama berbicara tentang akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan pengelolaan sumber daya hutan dan pelestarian hutan, dan dalam ikut menikmati pemanfaatan sumber daya hutan. Sebagaimana yang dituturkan oleh Mappiare ( Senin, 14 September 2009 ) bahwa “ kelestarian hutan bukan hanya semata mata tanggung jawab masyarakat adat tetapi butuh dukungan dan kerjasama dengan pemerintah”.
Dengan demikian, prinsip keadilan ini telah masuk ke dalam wilayah politik ekologi, di mana pemerintah dituntut untuk membuka peluang dan akses yang sama bagi semua kelompok dan anggota masyarakat dalam ikut menentukan kebijakan publik khususnya dalam hal pengelolaan sumber daya hutan dan dalam memanfaatkan hutan ini bagi kepentingan hidup manusia. Termasuk di dalamnya prinsip bahwa semua kelompok dan anggota masyarakat harus secara proporsional menanggung beban yang disebabkan oleh rusaknya hutan.
Berdasarkan hasil wawancara dari Muhammad Tang ( Senin 14 September 2009 ) maka saya dapat menarik beberapa kesimpulan bahwa prinsip keadilan dalam menentukan kebijakan dalam pengelolaan hutan terdapat beberapa implikasi sebagai berikut. Pertama, harus dijamin adanya keadilan prosedural, di mana dimungkinkan adanya partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan di bidang lingkungan dan di bidang lain yang terkait dengan pengelolaan hutan. Kedua, ada perlakuan yang sama atau proporsional antara laki laki dengan perempuan. Ketika perempuan lebih rentan dalam kaitan dengan manfaat dan resiko lingkungan, manfaat dan resiko ini harus diperhitungkan dan dikompensasi secara proporsional. Jadi, prinsip keadilan menuntut pula adanya keadilan gender di bidang pengelolaan hutan. Sebab rata rata yang paling banyak memanfaatkan hasil hutan adalah dari kalangan perempuan, misalnya saja mencari kayu bakar. Prinsip keadilan gender ini kemudian tertuang dalam adanya jabatan yang harus dipegang oleh perempuan dalam komposisi ade eppaE yaitu Sanro, Guru, Gella dan Arung. Posisi sanro inilah yang dipegang oleh perempuan.
Implikasi yang ketiga, dalam kaitan dengan manfaat dan beban yang diperoleh dari hutan, harus ada perlakuan yang proporsional di antara berbagai kelompok masyarakat. Kelompok yang memperoleh manfaat yang ebih besar, misalnya karena mendapat izin yang sah untuk mengolah hutan yang ada harus menanggung beban yang lebih besar dalam upaya pemulihan, pelestarian dan perawatan hutan. Ini misalnya diwujudkan dalam bentuk Sima Ale ( pajak hutan ) yang dipungut oleh Gella, bukan saja bagi pencemar dan perusak hutan, tetapi bagi siapa saja yang memanfaakan sumber daya hutan. Demikian pula, kelompok masyarakat yang rentan dengan adanya perubahan ekosistem harus mendapat perhatian ekstra agar ada kompensasi yang memungkinkan mereka tidak terancam hidupnya, baik dari segi ekonomi maupun budayanya.
Keempat, harus ada akses dan peluang yang sama bagi generasi mendatang ( Young Generation ) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling vital secara sama dengan generasi sekarang. Maka, prinsip keadilan berlaku pula antargenerasi. Ini menyangkut semua aspek kebutuhan pokok manusia yaitu dara yang bersih, air, makanan, tempat rekreasi, perlindungan dari bencana alam dan pemanasan global dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan prinsip keadilan ini, kepentingan masyarakat adat Karampuang harus mendapat perhatian ekstra. Perhatian ekstra diperlukan karena dibandingkan dan berhadapan dengan masyarakat moderen, yang berusaha memanfaatkan sumber daya hutan di sekitar masyarakat adat ini, dimana masyarakat adat terkadang tidak berdaya. Mereka tidak berdaya dari segi modal, teknologi informasi, kemampuan manajemen dan sebagainya. Ini terkadang menyebabkan kepentingan mereka, baik ekonomi maupun budaya secara khusus sangat rentan dan terancam dan pada gilirannya membahayakan eksistensi mereka sebagai kelompok budaya maupun sebagai kelompok manusia. Oleh karena itu, secara politik, harus ada kebijakan politik khusus yang menjamin bahwa kehidupan ekonomi, adat dan budaya serta eksistensi mereka dilindungi dalam proses pembangunan yang ditujukan untuk masyarakat adat Karampuang.
Hal ini penting, karena kehidupan masyarakat adat Karampuang pada dasrnya sangat bergantung pada keberadaan ekosistem hutan di sekitar tempat tinggalnya. Hutan tidak hanya memberi mereka sumber kehidupan ekonomi, tetapi juga menentukan budaya, cara pikir, dan cara beradaptasi. Itu berarti, rusak dan hilangnya ekosistem hutan di sekitar mereka akan secara langsng menyebabkan rusak dan hilangnya budaya, dan punahnya eksistensi mereka sebagai manusia.
8. Prinsip Demokrasi
( Assamaturuseng )
Prinsip assamaturuseng ( demokrasi ) terkait erat dengan hakikat hutan. Isi alam ataupun hutan selalu beraneka ragam. Keanekaragaman dan pluralitas adalah hakikat hutan, hakikat kehidupan itu sendiri. Artinya, sertiap kecenderungan reduksionostis dan antikeanekaragaman serta antipluralitas bertentangan dengan hutan dan antikehidupan. Demokrasi justru memberi tempat seluas luasnya bagi perbedaan, keanekaragaman, dan pluralitas. Oleh karena itu setiap orang yang peduli kepada hutan adalah orang yang demokratis. Sebaliknya, orang yang demokratis sangat mungkin sebagai pemerhati hutan ataupun lingkungan secara umum.
Prinsip demokrasi di sini sangat relevan dalam bidang lingkungan kehutanan, terutama dalam kaitan dengan pengambilan kebijakan di bidang pengelolaan hutan yang menentukan baik dan buruknya, rusak tidaknya dan tercemar atau tidaknya hutan. Ini adalah sebuah prinsip moral politik yang menjadi garansi bagi yang pro terhadap lingkungan hidup. sebaliknya ada kebimbangna yang sangat besar bahwa kehidpan politik yang tidak demokratis, dan sisitem politik yang tidak menjamin adanya demokrasi, akan membahayakan bagi upaya perlindungan hutan. Hal ini terungkap dari adanya keterangan dari seorang penduduk yang bermukim di Karampuang yang bernama Karaseng ( Senin, 14 Sepetember 2009 ) bahwa :
Narekko de gaga assamaturusenna tau mapparentae silong raya baiccue rilalenna pakkegunai silong piarai alee, jaji mua tu naekia de naulle madesyeng kale. Nasaba nakko raya emmi pueloki de naulle jaji. Makkutofi fammarentae, de to nahedding kajana jana mattubbang aju narekko de napparafe llao ri fakkampongnge. Nasaba narekko fammarentae elo katoneng toneng de nasyosyo, masolangngi kampongngE. ( jika tidak ada kesepakatan antara pemerintah dengan rakyat dalam hal pengelolaan hutan, maka pekerjaan itu tidak akan bisa mencapai hasil yang maksimal. Sebab kalau masing masing pihak berjalan sendiri maka kelestarian hutan sangat sulit tercapai. Begitu pula dengan pemerintah, tidak boleh seenaknya menebang kayu di hutan tanpa ada persetjuan dari masyarakat setempat. Ketika pemerintah bertindak secara diktator, maka kampung dan rakyatnya tidak akan bisa mencapai kehidupan yang makmur ).
Berdasarkan keterangan dari Abdul Muin ada beberapa prinsip moral yang tercakup dari nilai demokarasi itu antara lain, pertama, demokrasi menjamin adanya keanekaragaman dan pluralitas, baik pluralitas kehidupan maupun pluralitas aspirasi, kelompok politik dan nilai. Ini memungkinkan nilai lingkungan hutan mendapat tempat untk diperjuangkan sebagai agena politik dan ekonomi yang sama pentingnya dengan agenda lain. Paradigma pembangunan berkelanjutan ( sustaniable development ) hanya mungkin diterima kalau pembangunan dipahami sebagai berdimensi plural. Sebaliknya, ketika pembanguan direduksi hanya semata mata sebagai pembangunan ekonomi, paradigma pembangunan berkelanjutan tidak bisa diterima. Oleh karena itulah, demokrasi yang menerima adanya pluralitas cara pandang tentang pembangunan akan sangat akomodatif terhadap perlindungan hutan dalam seluruh proses pembangunan.
Kedua, demokrasi menjamin kebebasan dalam mengeluarkan pendapat dan memperjuangkan nilai yang dianut oleh setiap orang dalam kelompok masyarakat dalam bingkai kepentingan bersama. Demokrasi menjamin setiap orang dan kelompok masyarakat untuk menentukan hidupnya sejauh tidak merugikan kepentingan bersama dan kelompok lain.
Ketiga, demokrasi menjamin setiap orang dan kelompok masyarakat ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan publik dan memperoleh peluang yang sama untuk memperoleh manfaat dai kebijakan publik tersebut. Demokrasi menentang setiap kebijakan yang nuansanya otoriter dan tidak aspiratif. Karena, selain menyepelekan aspirasi dari masyarakat, juga akan sulit untuk didukung oleh masyarakat. Dalam kaitan dengan pengelolaan hutan, kebijakan yang sifatnya otoriter amatlah berbahaya, karena ketika pengambil keputusan dalm hal ini adalah pemerintah, tidak memiliki kepedulian terhadap masyarakat adat yang hidupnya senantisa belum bisa dipisahkan dari hutan, dan di lain pihak partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat adat untuk memasukkan agenda pengelolaan hutan dalam kebijakan publik tidak mendapat tempat, maka pada gilirannya hutan akan dikorbankan dan mengalami kerusakan.
Keempat, demokrasi menjamin hak setiap orang dan kelompok masyarakat, termasuk masyarakat adat untk memperoleh informasi yang akurat tentang setiap kebijakan publik dan segala sesuatu yang berkaitan denga kepentingan publik. Dalam kaitan dengan itu, transparansi merupakan aspek penting dari demokrasi.
Kelima, demokrasi menuntut adanya akuntabilitas publik agar kekuasaan yang diwakilkan kepada penguasa, karena pemerintah desa itu adalah perpanjangan tangan dari rakyat untk menyalurkan aspirasinya ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, maka sudah sepatutnyalah, pemerintah tidak boleh menyalahgunakan wewenangnya secara sewenang wenang melainkan digunakan sebaik baiknya dan bertanggung jawab demi kepentingan masyarakat.
Dalam kaitan dengan penegelolaan kehutanan, demokrasi menjamin setiap orang dan kelompok masyarakat mempunyai hak untuk memperjuangkan kepntingannya di bidang pengelolaan dan pemanfaatan hutan, berpartisipasi dalam menentukan kebijakan di bidang kehutanan, mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang kebijakan yang terkait dengan hutan. Demikian pula, demokrasi menjamin bahwa pemerintah wajib mempertanggungjawabkan kebijaknnya yang bernuansa merugikan dan merusak hutan. Bahkan demokrasi menjamin bahwa masyarakat adat mempunyai hak untuk berbeda pendapat dengan pemerintah, bahkan bisa menggugat setiap kebijakan yang berdampak merugikan hutan.